Menilik Perkembangan Al - Azhar dari Masa ke Masa


Al – Azhar, nama yang tak lagi asing di telinga kita. Perguruan tinggi yang menjadi refrensi perkuliahan di seantero jagat, bukan hanya dunia islam ini menawarkan kepada kita pesona keilmuan yang sangat istimewa. Tempat ini tak hanya menghasilkan generasi ulama saja, lebih dari itu Al – Azhar menghasilkan generasi intelektual berjiwa ulama yang menjadi tokoh berpengaruh di seantero bumi, bukan hanya dalam lingkup Islam.
Al – Azhar dan Kota Kairo ibarat 2 sisi koin yang tak dapat dipisahkan. Pembangunan Al – Azhar sendiri dilakukan setelah rampungnya pembangunan megah di Kota Kairo. Awalnya, Al – Azhar hanyalah sebuah masjid belaka yang didirikan pada masa berkuasanya Dinasti Fatimiyyah oleh Jauhar As – Siqiliy. Proses pendirian Al – Azhar dilakukan kurun waktu antara 970 – 972 Masehi.
Menilik perkembangan zaman yang menuntut berkembangnya ilmu pengetahuan agar dapat bersaing dengan bangsa sekitar Mesir. Maka, Al – Azhar diperluas cakupan penggunaannya sebagai pusat pengembangan dan riset ilmu pengetahuan atau bisa dikatakan sebuah universitas. Perluasan penggunaan Al – Azhar ini dilakukan oleh Khalifah Fatimiyyah yang kelima, yaitu Abu al-Manshur Nizar al-Aziz (975 M-996 M).
Penamaan Al – Azhar sendiri memiliki makna historis tersendiri. Ada 2 pendapat kuat yang diyakini kebenarannya. Kedua pendapat ini muncul dari kalangan internal Al – Azhar sendiri.
Pertama, menurut Dr. Ahmad Mahmud, Guru Besar Sejarah Islam di Universitas Kairo menjelaskan bahwa kata Azhar diambil dari kata al-Zahra, nama dari Sayyidah Fatimah al-Zahra binti Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam. Istri dari Sayidina Ali bin Abi Thalib, ibu dari Sayidina Hasan dan Husain. Hal ini diyakini kebenarannya dikarenakan Dinasti Fathimiyyah meletakkan Syiah sebagai acuan agama. Dalam ajaran Syiah sendiri, para Ahlul Bait/famili Rasulullah saw. memiliki tempat istimewa dalam benak mereka. Utamanya, Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. dan Fatimah Az – Zahra beserta kedua anaknya
                                                                                                       
Kedua, menurut Dr. Mina Sya`ir, Guru Besar Sejarah Islam di Universitas al-Azhar menjelaskan bahwa kata al-Azhar juga konon diambil dari nama sebuah istana yang dibangun pada masa Khalifah al-`Aziz billah.
Masjid Al – Azhar sendiri bukan hanya dijadikan tempat mengadakan ritual keagamaan saja, lebih dari itu pada mulanya ia didesain sebagai pusat penyebaran dan pelestarian Syiah yang menjadi mazhab resmi Dinasti Fathimiyah. Masjid al-Azhar menjadi masjid resmi miliki Negara, ia menjadi tempat para pemimpin Dinasti Fatimiyah berkhutbah, dan juga menjadi cerminan dari setiap kebijakan dan keputusan Negara.


Letak Al – Azhar ditinjau melalui Google Maps
Pada mulanya, proses pendidikan di Al – Azhar dimulai dari sebuah Majelis yang diisi oleh Al – Qadhi Abu Hasan al-Nu`man pada bulan Safar 365 H (976 M), dan kitab yang dikaji saat itu adalah kitab al-Iqtishar, kitab fikih mazhab Syiah Ismailiyah.
Sistem pendidikan yang diterapkan dalam universitas ini terbagi menjadi empat kategori.
Pertama, kelas umum, yakni kelas yang diperuntukkan bagi kaum Muslim yang datang ke Al-Azhar untuk mempelajari Alquran dan metode penafsirannya.
Kedua, kelas untuk kaum Muslim yang ingin mengkaji permasalahan keislaman bersama para tutor atau pembimbing kala itu.
Ketiga, kelas darul hikam. Dalam kelas ini, kuliah diberikan oleh para mubaligh. Selain kalangan pelajar, kelas darul hikam juga diperuntukkan bagi masyarakat umum saat itu.
Keempat, kelas nonformal, yakni kelas yang disediakan untuk kalangan Muslimah yang juga hendak menimba ilmu-ilmu keislaman.
Pada mulanya, semua pihak yang ingin menimba ilmu di Al – Azhar tidak diperkenankan mempelajari aliran selain syi’ah. Hal ini dilatar belakangi seperti yang telah sempat penulis kemukakan sebelumnya, yaitu landasan agama Dinasti Fatimiyyah adalah Syi’ah.
Setelah takluknya Dinasti Fatimiyyah dihadapan Shalahuddin Al – Ayyubi pada tahun 1171 Masehi atau 576 Hijriyah, kegiatan belajar mengajar (KBM) di Al – Azhar sempat dihentikan karena Shalahuddin ingin memutus mata rantai hegemoni perkembangan Syiah di Jazirah Mesir. Setelah dianggap aman, Al – Azhar pun kembali difungsikan sebagai lembaga pendidikan yang beraliran Sunni/ Ahlus Shunnah Wal Jamaah.
Pada kemudian hari, Al – Azhar tidak hanya fokus dalam kajian keislaman saja, tapi juga telah merambah kajian ilmu pengetahuan umum, seperti ekonomi, psikologi, kedokteran, matematika, teknik, dan lainnya.

Hingga kini, Al – Azhar telah melahirkan ribuan lulusan yang tersebar seantero dunia, bukan hanya sebagai ulama besar saja tapi juga melahirkan generasi intelektual muslim yang selaras dengan perkembangan zaman. 

Komentar

Postingan Populer